Friday, March 10, 2017

Program Prioritas Kementerian Desa Pada 2017

Dua Tahun Terakhir Dana Desa Fokus Infrastruktur. Mulai tahun 2017, diarahkan agar pengelolaan dana desa bisa memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi desa.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menyusung program prioritas berupa program pengembangan Produk Unggulan Desa (Prudes) dan Produk Unggulan Kawasan Perdesaan (Prukades).  Pengembangan produk-produk tersebut dikembangkan dengan berbasis teknologi dan inovasi.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Eko Putro Sandjojo mencontohkan beberapa daerah yang sudah bisa fokus untuk mengembangkan produk unggulannya antara lain di Gorontalo dengan produksi jagungnya atau Dompu yang bisa lepas dari status daerah tertinggal.

 “Desa yang belum fokus akan kita kasih insentif, kita kasih bibit, pupuk, dan sarana pertanian gratis,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (27/1/2017).

Eko melanjutkan selain menetapkan produk unggulan, desa juga didorong untuk mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).  Menurutnya, dana desa melalui BUMDes dapat menjadi stimulus pembangunan di daerah.

“BUMDes itu dibikin supaya dana desa suatu saat bukan menjadi sumber utama pembangunan desa. Sumber utamanya yakni desa mempunyai sarana ekonomi sendiri yang bisa membuat desa itu mandiri secara finansial dan membuka lapangan kerja,”  tambahnya.

Tuesday, March 7, 2017

Kemiskinan di Aceh

Mendekati kompetisi terbuka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sudah di depan mata, stamina ekonomi Aceh bukannya menguat, tetapi semakin loyo. Data dari BPS terbaru (Serambi  16/9/2015) menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Aceh meningkat sebesar 14.000 orang sejak September 2014. Total keseluruhan rakyat miskin di Negeri Syariat ini menjadi  851.000 jiwa (mendekati 1 juta). Mantan Kepala Badan Pusat Statistik, Rusman Heriawan, mendefinisikan seseorang individu dianggap miskin apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup minimal adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi.

Ketika seseorang menjadi miskin, maka daya belinya menurun. Saat ada 851.000 warga Aceh yang  kemampuan membeli kebutuhan primernya (saja) terbatas, maka dipastikan penjualan barang-barang sekunder dan tersier menjadi tak laku bahkan ada pedagang yang harus gulung tikar. Penjual yang berhenti berdagang ini menjadi pengangguran baru. Alurnya, kemiskinan akan menambah jumlah pengangguran dan pengangguran akan menambah angka kemiskinan.

Ini juga yang menjelaskan kenapa Aceh tidak memiliki mall-mall besar seperti tetangganya Medan. Jumlah orang miskin yang tinggi memberi isyarat kepada investor bahwa orang Aceh tak mampu membeli barang-barang berkualitas tinggi yang biasanya tersedia di Mall. Akibatnya, standar hidup masyarakat Aceh naiknya lambat.

Singkat kata, Aceh sebenarnya sedang menghadapi krisis ekonomi. Sayangnya, elit politik kita tidak begitu mementingkan kondisi ekonomi rakyat. Bagi mereka politik kekuasaan dan politik agama adalah panglima. Kesejahteraan rakyat diukur jika Aceh sudah bisa mengibarkan benderanya sendiri dan pelaksanaan Shalat Jumat sudah mengikuti penafsiran mazhab tertentu. Energi dan waktu dihabiskan untuk mengurusi hal-hal yang sebenarnya tidak substansial.

Pertanyaannya, saat pemerintah tak bisa diharapkan untuk pemulihan ekonomi, apa yang harus dilakukan agar masyarakat miskin bisa mandiri secara finansial?

Kita bisa belajar dari dua desa di Kabupaten Nias (Sirombu dan Bawo’otalua).  Seperti gampong di Aceh, dua desa ini juga luluh lantak oleh tsunami satu dekade lalu. Pada mulanya masyarakat bergantung pada bantuan pemerintah dan dana asing. Namun sebuah LSM lokal melakukan penguatan kapasitas masyarakat dan mampu menyadarkan bahwa jika ingin mandiri secara ekonomi, harus berhenti berharap dari bantuan kemanusiaan. Betapapun miskinnya, tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah. Masyarakat miskin desa diajak bangkit, belajar menabung, dan mengelola keuangan secara kelompok melalui sistem Credit Union (CU). Saat ini, tabungan masyarakat desa itu hampir mencapai 13 milyar, mampu mendirikan bangunan di desa, dan mandiri secara keuangan tanpa pertolongan pemerintah.

Bandingkan dengan Aceh, sepuluh tahun lamanya provinsi ini diguyur hujan duit dari dana otsus dan bantuan asing. Program-program pembangunan senilai triliunan rupiah dihabiskan untuk membangun gedung-gedung megah, namun tidak mampu membangun jiwa mandiri di masyarakat bawah. Pembangunan bersifat fisik, bukan budaya sosial yang beretoskan kemandirian. Hasilnya, provinsi ini memiliki infrastruktur yang megah, perubahan pun tampak di luar (fisik), namun karena budaya kemandirian tak dibangun maka masyarakat masih digerogoti kemiskinan.

Kesimpulan paragraf diatas semakin sahih setelah  beberapa hari yang lalu penulis menyaksikan sendiri sebuah fenomena unik. Yakni saat dua staf NGO asing mengunjungi sebuah desa yang sering mendapat bantuan pasca Tsunami. Maksud kunjungan untuk melihat capaian pembangunan, terutama  dalam hal pencegahan bencana, air bersih dan sanitasi. Di sesi tanya-jawab, seorang warga melontarkan kalimat, “kalau Bapak ada dana hibah, kami siap dan dengan senang hati menerima”.
Pernyataan lugu itu membuat sang tamu asing kaget dan seperti tersadar. Setelah sepuluh tahun mendapat bantuan kemanusiaan,  masyarakat  menjadi manja. Terbiasa  mendapat pertolongan gratis membuat warga memliliki mental ‘menerima’ bukan mental ‘menghasilkan’. Dan memang desa tersebut sampai saat ini belum bisa mandiri.

Program-program pengentasan kemiskinan sejak dari dulu sudah diluncurkan di Aceh dengan hasil program yang mengecewakan. Sering luput dari perhatian kita, bahwa yang membuat masyarakat jadi miskin bukan hanya karena pemerintah yang tidak becus, tapi juga karena budaya masyarakat yang kontra dengan pertumbuhan ekonomi.

Upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan seperti program modal usaha akan berjalan ditempat jika masyarakat tidak memiliki jiwa wirausaha (entrepreneurship), program pendidikan gratis akan tidak berdampak jika tanpa ditanam etos gemar belajar dan rajin membaca, program kesehatan gratis akan membengkakkan pengeluaran kas daerah jika masyarakat tidak memiliki pola hidup sehat. Intinya, sebuah rekayasa sosial akan gagal jika budaya masyarakatnya tidak ikut disiapkan.

Kemiskinan adalah sebuah fenomena sosial yang rumit karena akar penyebabnya bercabang dan terkait satu sama lain. Oleh karena itu, untuk memerangi kemiskinan tak bisa hanya memakai satu jurus seperti program-program pemerintah yang sifatnya top-bottom. Seandainya kemiskinan bisa diatasi dengan program-program kesejahteraan sosial, maka seharusnya dari dulu sudah tidak ada lagi orang miskin di muka bumi. Sejak pasca Perang Dunia II sampai era Sustainable Development Goals (SDGs) ini, negara-negara kaya sudah menggelontorkan triliunan dollar untuk membantu negara miskin melalui program pembangunan internasional. Namun sampai sekarang, kemiskinan adalah program pembangunan yang tak selesai-selesai
Program pengentasan kemiskinan yang sudah direncanakan Bappeda seperti bedah rumah, penyediaan rumah layak huni, kesehatan gratis, dan beasiswa miskin akan sangat membantu mengurangi beban rakyat miskin. Namun penulis ragu jika program kesejahteraan ini akan membuat masyarakat miskin menjadi mandiri secara finansial jika mental, pola berpikir dan pola hidup mereka tidak ikut diubah. Revolusi mental inilah yang sulit.

Belajar dari pengalaman NGO dan LSM, pihak yang mampu menggerakkan masyarakat untuk bangkit dan berubah adalah tokoh masyarakat yang suaranya didengar dan diikuti. Di setiap daerah miskin, Bappeda sebaiknya melakukan indentifikasi siapa tokoh dengan kualifikasi ‘didengar dan diikuti’ ini, lalu mengajaknya ikut serta dalam agenda pengentasan kemiskinan. Tokoh inilah yang bisa memotivasi warga untuk memulai hidup baru dengan budaya menabung dan kerja keras. Program-program pembangunan pemerintah hanya akan efektif jika ada partisipasi aktif dari masyarakat miskin itu sendiri. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang mengubah nasib mereka sendiri.

Penulis : Mirza Ardi (Staf Kampanye FLower Aceh)

Monday, February 13, 2017

Menjawab Kekhawatiran Dana Desa



Sebulan terakhir ini, saya memperoleh kesempatan melakukan riset di beberapa desa. Melakukan dialog seputar desa dengan berbagai orang yang memiliki latar belakang profesi (seperti birokrat, akademisi, aparat desa, LSM, petani, peternak, dan nelayan) menjadi target utama.

Atas dialog tersebut, dana desa menjadi isu utama dibandingkan dengan isu-isu lain tentang desa. Ragam pertanyaan pun mengemuka, seperti bisakah aparat desa mempertanggungjawabkan secara baik penggunaan dana desa? Lalu, bagaimana mekanisme pencairan dan penggunaan dana desa saat ini? Apakah ada implikasi manakala dana desa tidak diperuntukkan sebagaimana diharapkan warga? Mampukah dana desa menjawab kebutuhan riil yang dirasakan desa saat ini?

Di satu sisi pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat saya senang karena para pemerhati desa secara kritis mengikuti perkembangan desa. Namun, di sisi lain, saya ragu apakah dana desa mampu mempraksiskan filosofinya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa. Di sinilah kadang muncul kekhawatiran, mampukah dana desa menurunkan angka ketimpangan (indeks gini) desa yang sudah menyentuh poin 0,7 (sangat timpang)?

Paradoks dana desa

Sejak UU No 6/2014 tentang Desa diberlakukan, banyak pihak memiliki pandangan yang berbeda tentang dana desa meski PP No 60/2015 sudah dengan gamblang menjelaskan hal ini. Saya melihat ada dua pandangan besar yang mencuat. Pertama, mereka yang berpandangan bahwa dana desa bersumber APBN belum tepat diberikan kepada desa saat ini. Kedua, yang berpandangan bahwa aparat desa akan mampu mengelola dana desa yang diberikan pemerintah kepada desa.

Munculnya dua pandangan dominan tersebut sangat wajar karena peraturan perundangan yang mengatur dana desa berdampak terhadap “wajah dana desa” yang paradoks. Ada tiga paradoks dana desa. Pertama, pemberian dana desa menciptakan birokratisasi ketimbang pemberdayaan desa. Mandatoris dana desa yang tertuang dalam UU No 6/2014, PP No 6/2015, dan beberapa Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendesa)-seperti Permendesa No 4/2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa- dipandang sebagai bentuk birokratisasi baru.

Sebutlah seperti dasar alokasi dana desa, prosedur dan mekanisme dana desa, prioritas penggunaan dana desa, serta pendirian BUMDes di setiap desa yang menjadi arahan Kemendes. Akan tetapi, makna pemberdayaan desa, di mana dana desa untuk memperkuat pengetahuan aparat dan warga desa dalam pengambilan keputusan penggunaan dana desa, menghadirkan kesadaran penggunaan dana desa sesuai kebutuhan dan kondisi yang dihadapi desa serta perencanaan dan monitoring-evaluasi partisipatif penggunaan dana desa jauh dari yang diharapkan.

Paradoks kedua adalah dana desa mampu meretas kesenjangan struktural, tetapi menghadirkan kesenjangan antarpulau. Kebijakan afirmatif pemerintah terhadap desa dengan memberikan dana desa dari 2,6 persen menjadi 10 persen dari alokasi APBN merupakan langkah afirmatif dan terobosan baru yang harus didukung.

Setidaknya masalah kesenjangan struktural antara negara dengan desa perlahan teratasi. Namun, implementasi distribusi dana desa yang hanya mempertimbangkan indikator jumlah desa telah menyulut kesenjangan baru, yakni kesenjangan antarpulau.
Dari data yang kami olah, dana desa Rp 20,766 triliun yang akan didistribusikan tahun ini, 61,49 persen berada di Pulau Jawa dan Sumatera. Sisanya, di Pulau Kalimantan (8,73 persen), Sulawesi (11,44 persen), Bali dan Nusa Tenggara (6,26 persen), serta Maluku dan Papua (12,08 persen). Artinya, indikator luas wilayah, penduduk miskin, dan tingkat kesulitan akses tak dijadikan indikator perhitungan dalam pendistribusian dana desa.

Ketiga, paradoks bahwa dana desa yang mensyaratkan adanya RPJM Desa dan RKP Desa tidak sesuai antara harapan dan kenyataan. Kesan ketergesa-gesaan dalam mempersiapkan berkas administrasi untuk penyaluran dana desa menyebabkan RPJM Desa dan RKP Desa disusun tidak sesuai harapan. Atas nama penyerapan dana desa, RPJM Desa, dan RKP Desa tidak lagi disusun secara partisipatif yang melibatkan warga desa, melainkan top down (bahkan menggunakan konsultan). Keinginan untuk transparansi jauh dari harapan. Sebaliknya, RPJM Desa dan RKP Desa hanya diketahui oleh segelintir orang desa. Alhasil, akuntabilitas diragukan dan korupsi dana desa adalah keniscayaan.

Menjawab kekhawatiran

Ketiga paradoks dana desa di atas tak akan terjadi apabila sejak jauh hari kementerian yang mengurus desa (termasuk dana desa) memahami kondisi empirik yang terjadi saat ini. Kondisi empirik desa yang saya maksud adalah: (1) penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa tak sesuai konteks ruang desa. Kondisi ini disebabkan desa tidak memiliki peta visual dan tematik yang menggambarkan isi “rumah” desa; (2) dominannya batas-batas desa saat ini yang masih imajiner (tidak berdasarkan/disertai koordinat batas). Padahal, batas desa sangat menentukan kewenangan desa dalam penyelenggaraan dan penataan desa. Alhasil, konflik vertikal maupun horizontal tidak jarang kita saksikan di desa; dan (3) lemahnya instrumen yang tersedia bagi perangkat desa untuk mendeteksi daya dukung desa melakukan perencanaan dan pengawasan pembangunan desa.

Atas kondisi tersebut, tampaknya desa membutuhkan kesadaran ruang (spasial) dalam pembangunan desa. Dokumen penting pembangunan desa (RPJM Desa dan RKP Desa) sudah saatnya berbasis keruangan. Untuk itu, agenda mendesak implementasi dana desa seyogianya dimulai dari pembangunan desa berbasis keruangan, yaitu pembangunan yang direncanakan-dilaksanakan-dimonitor dengan pendekatan potensi wilayah desa secara partisipatif dengan membagi fungsi ruang desa ke dalam fungsi lindung (konservasi) dan budi daya (ekonomi dan sosial).

Persoalan sulitnya desa mengakses informasi berbasis keruangan, minimnya pengetahuan aparat desa tentang pembangunan berbasis keruangan, minimnya metode pembaruan data desa, dan lemahnya perencanaan desa berbasis keruangan dapat diatasi dengan menggunakan instrumen drone desa. Drone desa berfungsi menyediakan informasi (data citra) pembangunan desa berbasis keruangan dalam bentuk pemetaan partisipatif (batas desa, land use, potensi desa, dan konflik batas desa) serta perencanaan partisipatif (penataan ruang desa, RPJM, dan RKP Desa).

Dalam konteks UU No 6/2014, drone desa untuk pembangunan desa berbasis keruangan memiliki relevansi untuk menjawab masalah-masalah desa yang bersifat strategis. Hasil riset yang kami lakukan di beberapa desa memberikan informasi bahwa penggunaan drone desa untuk penyediaan informasi spasial sangat efektif dan akurat membantu desa dalam penataan desa (batas desa berbasis visualisasi dan titik koordinat), perencanaan desa secara partisipatif, mengetahui potensi investasi dan ekonomi desa, kejadian luar biasa yang dialami desa (sedimentasi, kerusakan mangrove, dll), serta sebaran dan besar aset desa.
Tentunya, keseluruhan informasi tersebut diorientasikan untuk mendukung penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa yang partisipatif, transparansi, serta akuntabel.

Akhirnya, perdebatan akan berakhir dan kekhawatiran terhadap penggunaan dana desa akan sirna apabila desa membangun menentukan jalan pembangunan desa berbasis keruangan. Artinya, perlahan dan pasti keadilan ruang untuk desa akan terwujud untuk kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.

SOFYAN SJAF Dosen Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB dan Sekretaris PSP3 IPB

Robohnya Data Desa Kami



Undang-undang desa menyaratkan semua pemerintah desa untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) di level desa. Pemerintah desa mesti memetakan apa saja yang menjadi potensi, kekuatan, serta harapan di level desa. Namun bagaimanakah menyusun dokumen itu ketika tak ada satupun data-data yang dimiliki pemerintah desa? Bisakah?
Berikut kesaksian dari lapangan.

***

Kening pria itu tiba-tiba saja semakin berkerut. Wajah tuanya semakin terpekur saat diajak berdiskusi tentang data-data yang ada di level desa. Ia hanya menunjukkan satu blanko isian tentang data potensi kampung dari pihak pemerintah kabupaten. Blanko itu kosong melompong. Ia tak punya ide hendak mengisi blanko itu dengan data apa.

Ia menyilahkanku untuk melihat beberapa data yang terpampang di dinding kusam kantor itu. Kulihat ada data demografi yang ditulis di papan putih. Selanjutnya, sketsa kampung itu yang dibuat oleh mahasiswa yang melakukan KKN di situ. Aku juga melihat papan putih besar yang bertuliskan data potensi kampung, namun tak satupun ada angka tertera di situ.

Sebut saja pria itu bernama Edi. Jabatannya adalah Sekretaris Kampung Tanjung Batu, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Di Berau, pemerintahan setingkat desa dinamakan kampung. Nama ini dianggap lebih dekat dengan kultur serta tradisi yang berdenyut di masyarakat.

Lebih 10 tahun Pak Edi menjabat sebagai perangkat kampung yang digaji pas-pasan. Namun sejak eranya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ia diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Tugasnya adalah berkantor di sekretariat desa dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Setiap hari ia memakai pakaian dinas yang nampak mentereng dan rapi.

“Di sini tidak ada data. Tapi kalau butuh beberapa data, barangkali saya bisa hubungi beberapa orang,” katanya. Mulanya ia hendak menghubungi staf Badan Pusat Statistik (BPS) yang kerap mengumpulkan data. Sayang, staf BPS itu tak berada di desa itu.

Lagian, aku juga tak seberapa ingin bertemu staf BPS. Beberapa data BPS yang kubawa dari Jakarta justru nampak aneh saat tiba di kampung itu. Data Potensi Desa (Podes) dari BPS menunjukkan bahwa desa itu adalah desa pertanian, di mana sawah menjadi tumpuan utama kehidupan warganya. Kubayangkan tempat itu serupa desa-desa di Cianjur yang dipenuhi sawah-sawah menakjubkan.

Tiba di desa itu, aku serasa tak percaya. Desa itu terletak di pesisir laut, pada posisi sebagai gerbang menuju kawasan wisata yakni Pulau Derawan, Maratua, Kakaban, Samama, dan Saumlaki. Tak ada sepetak sawah pun di desa itu. Bahkan, beras didatangkan dari luar, yakni Samarinda ataupun Balikpapan. Desa itu tak bisa memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri.

Sebab karakteristik desa itu adalah desa pesisir, di mana warganya mencari nafkah dengan meniti buih dan ombak lautan. Data lain dari BPS yang membingungkanku adalah data tentang profesi warganya. Sungguh aneh karena profesi kebanyakan warga terletak di sektor indistri. Padahal, amatan sepintas saja sudah bisa dipastikan kalau warga sangat bergantung pada sektor kelautan dan perikanan. Nah, apa data BPS masih bisa menjadi patokan?

“Ini data tentang konsesi perkebunan. Kebetulan, kami dikasih oleh pihak tambang,” kata Pak Edi setelah lama berpeluh untuk menggeledah mejanya yang nampak berantakan. Data itu lalu kupelajari dan kucatat bagian-bagian yang penting. Sungguh mengherankan karena beberapa data justru disediakan pihak perusahaan tambang. Seorang pejabat Pemda Berau sebelumnya bercerita tentang minimnya data-data di level kampung.

Mayoritas kampung tak punya data-data yang bisa menjadi patokan dalam memahami potensi desa, sekaligus merencanakan apa yang terbaik di desa itu. Tanpa data, kita tak punya gambaran tentang potensi kampung, aset-aset ekonomi, aset budaya, serta apa saja yang menjadi tradisi dan budaya masyarakat. Di banyak tempat, kantor desa atau kelurahan hanya menjadi tempat untuk mengurus KTP dan Kartu Keluarga, serta pajak bumi dan bangunan. Di luar itu, tak banyak kegiatan lain yang bisa disebutkan. Tentu saja, pihak perangkat desa tak bisa disalahkan.

Sejak masa Orde Baru, posisi perangkat desa hanya sebagai perpanjangan tangan dari birokrasi pemerintah, sekadar menunjukkan bahwa negara hadir pada scope yang terkecil. Persoalan mencuat ketika rezim pemerintahan yang baru hendak memberikan otonomi ke level desa, lalu menyilahkan desa untuk menyusun perencanaan, memberikan anggaran dengan porsi memadai, serta kewenangan untuk mengeksekusi program.

Ketika diminta untuk menyusun perencanaan, pihak desa kelabakan dan tak bisa berbuat apa-apa. Aparat desa tak punya kemampuan teknis untuk membuat berbagai dokumen dan laporan keuangan demi mengeksekusi beberapa rencana kegiatan.

Dalam situasi seperti ini, muncul para calo di level desa yang menawarkan bantuan untuk menyusun program, lalu membuat berbagai dokumen. Para calo meniupkan kekhawatiran bagi pihak desa tentang ancaman penjara karena ketidakmampuan mengelola anggaran publik. Para calo memberi iming-iming bahwa mereka punya pengetahuan yang bisa menyelamatkan aparat desa dari sanksi penjara. Maka sebuah persekongkolan baru telah lahir di desa yang sebelumnya tak banyak gejolak.

***

Sering kupikirkan adanya satu cultural gap atau kesenjangan pengetahuan yang cukup jauh. Pemerintah menyaratkan dokumen perencanaan yang berbasis pada data-data numerik, sementara masyarakat desa memiliki sistem berpikir dan sistem pengetahuan yang berbeda dengan apa yang diinginkan pemerintah. Yang ada di benak warga desa berupa rekaman sejarah serta gerak dan dinamika tradisi justru tak pernah dipandang sebagai data.

Pemerintah kita tak punya satu mekanisme perencanaan yang berbasis pada kearifan pengetahuan serta kebijaksanaan di level desa. Dengan kata lain, tak ada mekanisme lain untuk penyusunan program selain dari model penyusunan yang ada di level pemerintah pusat. Yang kemudian terjadi, kebijakan pembangunan di level desa, tak lebih dari sebuah copy-paste atas apa yang terjadi di tingkat pusat. Yang selalu diminta pemerintah dan kerap dikhutbahkan para akademisi adalah model-model dan sistematikan berpikir yang justru tumbuh pada birokrasi di tingkat pusat.

Pengetahuan itu membutuhkan satu kecakapan administrasi tertentu yang membutuhkan pengetahuan setara dengan seseorang yang belajar di level sarjana. Sama sekali tak kulihat satu upaya untuk me-recognize pengetahuan masyarakat, lalu menjadikannya sebagai cara-cara untuk menyelesaikan persoalan yang setiap hari dihadapi.

Mestinya ada satu lompatan berpikir yang tidak sekadar menyeragamkan model perencanaan dan pembangunan. Barangkali, mesti ada berbagai variasi model pembangunan yang justru dibangun dari kearifan kultural, yang tak melulu dan bertumpu pada kecakapan teknis semata.

Yang harus dilakukan adalah memberikan ruang yang luas bagi warga desa untuk melakukan improvisasi dan menyusun kelembagaan, tanpa harus menunggu instruksi dari atas. Mereka harus kreatif, tanpa harus diberi iming-iming tentang anggaran desa senilai miliaran rupiah. Di beberapa desa yang kukunjungi, kucoba memahami bagaimana pemerintahan bekerja pada cakupan yang kecil.

Nampaknya, berbagai kebijakan negeri ini senantiasa bertumpu pada dua hal: (1) Penyusunan kebijakan diakukan oleh orang-orang Jakarta yang tak memahami kondisi ril di lapangan. Pendekatannya masih top-down sebab menyaratkan kerja-kerja birokrasi dan pemerintahan yang memang sejak dari sono-nya sudah terdesentralisasi, (2) Banyak kebijakan yang dibangun dari asumsi bahwa ketika program atau anggaran dikucurkan, maka dianggap sebagai keberhasilan, tanpa menelaah lebih jauh tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi, serta bagaimana gerak masyarakat.

Aku teringat artikel yang dibuat Soedjatmoko bahwa pembangunan adalah soal kebudayaan. Setiap kebijakan baru mesti diikuti dengan pengetahuan dan perubahan budaya, khususnya mindset bagi para subyek di lapangan. Soedjatmoko memberi contoh tentang kebijakan pemberian traktor. Yang kerap diabaikan adalah pandangan dunia serta sistem berpikir yang juga menjadi prasyarat bagi dioperasikannya traktor tersebut.

Di banyak desa-desa yang kusaksikan, argumentasi Soedjatmoko itu ibarat mengukir langit dan menggantang asap. Masih butuh banyak energi dan kerja keras untuk sekadar membumikan berbagai pengetahuan, lalu menjadikannya sebagai kekuatan perubahan. Yah, kerja memang belum tuntas.

Bogor, 10 Juni 2015
http://www.kompasiana.com/yusrandarmawan