Monday, February 13, 2017

Menjawab Kekhawatiran Dana Desa



Sebulan terakhir ini, saya memperoleh kesempatan melakukan riset di beberapa desa. Melakukan dialog seputar desa dengan berbagai orang yang memiliki latar belakang profesi (seperti birokrat, akademisi, aparat desa, LSM, petani, peternak, dan nelayan) menjadi target utama.

Atas dialog tersebut, dana desa menjadi isu utama dibandingkan dengan isu-isu lain tentang desa. Ragam pertanyaan pun mengemuka, seperti bisakah aparat desa mempertanggungjawabkan secara baik penggunaan dana desa? Lalu, bagaimana mekanisme pencairan dan penggunaan dana desa saat ini? Apakah ada implikasi manakala dana desa tidak diperuntukkan sebagaimana diharapkan warga? Mampukah dana desa menjawab kebutuhan riil yang dirasakan desa saat ini?

Di satu sisi pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat saya senang karena para pemerhati desa secara kritis mengikuti perkembangan desa. Namun, di sisi lain, saya ragu apakah dana desa mampu mempraksiskan filosofinya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa. Di sinilah kadang muncul kekhawatiran, mampukah dana desa menurunkan angka ketimpangan (indeks gini) desa yang sudah menyentuh poin 0,7 (sangat timpang)?

Paradoks dana desa

Sejak UU No 6/2014 tentang Desa diberlakukan, banyak pihak memiliki pandangan yang berbeda tentang dana desa meski PP No 60/2015 sudah dengan gamblang menjelaskan hal ini. Saya melihat ada dua pandangan besar yang mencuat. Pertama, mereka yang berpandangan bahwa dana desa bersumber APBN belum tepat diberikan kepada desa saat ini. Kedua, yang berpandangan bahwa aparat desa akan mampu mengelola dana desa yang diberikan pemerintah kepada desa.

Munculnya dua pandangan dominan tersebut sangat wajar karena peraturan perundangan yang mengatur dana desa berdampak terhadap “wajah dana desa” yang paradoks. Ada tiga paradoks dana desa. Pertama, pemberian dana desa menciptakan birokratisasi ketimbang pemberdayaan desa. Mandatoris dana desa yang tertuang dalam UU No 6/2014, PP No 6/2015, dan beberapa Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendesa)-seperti Permendesa No 4/2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa- dipandang sebagai bentuk birokratisasi baru.

Sebutlah seperti dasar alokasi dana desa, prosedur dan mekanisme dana desa, prioritas penggunaan dana desa, serta pendirian BUMDes di setiap desa yang menjadi arahan Kemendes. Akan tetapi, makna pemberdayaan desa, di mana dana desa untuk memperkuat pengetahuan aparat dan warga desa dalam pengambilan keputusan penggunaan dana desa, menghadirkan kesadaran penggunaan dana desa sesuai kebutuhan dan kondisi yang dihadapi desa serta perencanaan dan monitoring-evaluasi partisipatif penggunaan dana desa jauh dari yang diharapkan.

Paradoks kedua adalah dana desa mampu meretas kesenjangan struktural, tetapi menghadirkan kesenjangan antarpulau. Kebijakan afirmatif pemerintah terhadap desa dengan memberikan dana desa dari 2,6 persen menjadi 10 persen dari alokasi APBN merupakan langkah afirmatif dan terobosan baru yang harus didukung.

Setidaknya masalah kesenjangan struktural antara negara dengan desa perlahan teratasi. Namun, implementasi distribusi dana desa yang hanya mempertimbangkan indikator jumlah desa telah menyulut kesenjangan baru, yakni kesenjangan antarpulau.
Dari data yang kami olah, dana desa Rp 20,766 triliun yang akan didistribusikan tahun ini, 61,49 persen berada di Pulau Jawa dan Sumatera. Sisanya, di Pulau Kalimantan (8,73 persen), Sulawesi (11,44 persen), Bali dan Nusa Tenggara (6,26 persen), serta Maluku dan Papua (12,08 persen). Artinya, indikator luas wilayah, penduduk miskin, dan tingkat kesulitan akses tak dijadikan indikator perhitungan dalam pendistribusian dana desa.

Ketiga, paradoks bahwa dana desa yang mensyaratkan adanya RPJM Desa dan RKP Desa tidak sesuai antara harapan dan kenyataan. Kesan ketergesa-gesaan dalam mempersiapkan berkas administrasi untuk penyaluran dana desa menyebabkan RPJM Desa dan RKP Desa disusun tidak sesuai harapan. Atas nama penyerapan dana desa, RPJM Desa, dan RKP Desa tidak lagi disusun secara partisipatif yang melibatkan warga desa, melainkan top down (bahkan menggunakan konsultan). Keinginan untuk transparansi jauh dari harapan. Sebaliknya, RPJM Desa dan RKP Desa hanya diketahui oleh segelintir orang desa. Alhasil, akuntabilitas diragukan dan korupsi dana desa adalah keniscayaan.

Menjawab kekhawatiran

Ketiga paradoks dana desa di atas tak akan terjadi apabila sejak jauh hari kementerian yang mengurus desa (termasuk dana desa) memahami kondisi empirik yang terjadi saat ini. Kondisi empirik desa yang saya maksud adalah: (1) penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa tak sesuai konteks ruang desa. Kondisi ini disebabkan desa tidak memiliki peta visual dan tematik yang menggambarkan isi “rumah” desa; (2) dominannya batas-batas desa saat ini yang masih imajiner (tidak berdasarkan/disertai koordinat batas). Padahal, batas desa sangat menentukan kewenangan desa dalam penyelenggaraan dan penataan desa. Alhasil, konflik vertikal maupun horizontal tidak jarang kita saksikan di desa; dan (3) lemahnya instrumen yang tersedia bagi perangkat desa untuk mendeteksi daya dukung desa melakukan perencanaan dan pengawasan pembangunan desa.

Atas kondisi tersebut, tampaknya desa membutuhkan kesadaran ruang (spasial) dalam pembangunan desa. Dokumen penting pembangunan desa (RPJM Desa dan RKP Desa) sudah saatnya berbasis keruangan. Untuk itu, agenda mendesak implementasi dana desa seyogianya dimulai dari pembangunan desa berbasis keruangan, yaitu pembangunan yang direncanakan-dilaksanakan-dimonitor dengan pendekatan potensi wilayah desa secara partisipatif dengan membagi fungsi ruang desa ke dalam fungsi lindung (konservasi) dan budi daya (ekonomi dan sosial).

Persoalan sulitnya desa mengakses informasi berbasis keruangan, minimnya pengetahuan aparat desa tentang pembangunan berbasis keruangan, minimnya metode pembaruan data desa, dan lemahnya perencanaan desa berbasis keruangan dapat diatasi dengan menggunakan instrumen drone desa. Drone desa berfungsi menyediakan informasi (data citra) pembangunan desa berbasis keruangan dalam bentuk pemetaan partisipatif (batas desa, land use, potensi desa, dan konflik batas desa) serta perencanaan partisipatif (penataan ruang desa, RPJM, dan RKP Desa).

Dalam konteks UU No 6/2014, drone desa untuk pembangunan desa berbasis keruangan memiliki relevansi untuk menjawab masalah-masalah desa yang bersifat strategis. Hasil riset yang kami lakukan di beberapa desa memberikan informasi bahwa penggunaan drone desa untuk penyediaan informasi spasial sangat efektif dan akurat membantu desa dalam penataan desa (batas desa berbasis visualisasi dan titik koordinat), perencanaan desa secara partisipatif, mengetahui potensi investasi dan ekonomi desa, kejadian luar biasa yang dialami desa (sedimentasi, kerusakan mangrove, dll), serta sebaran dan besar aset desa.
Tentunya, keseluruhan informasi tersebut diorientasikan untuk mendukung penyusunan RPJM Desa dan RKP Desa yang partisipatif, transparansi, serta akuntabel.

Akhirnya, perdebatan akan berakhir dan kekhawatiran terhadap penggunaan dana desa akan sirna apabila desa membangun menentukan jalan pembangunan desa berbasis keruangan. Artinya, perlahan dan pasti keadilan ruang untuk desa akan terwujud untuk kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.

SOFYAN SJAF Dosen Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB dan Sekretaris PSP3 IPB

Robohnya Data Desa Kami



Undang-undang desa menyaratkan semua pemerintah desa untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) di level desa. Pemerintah desa mesti memetakan apa saja yang menjadi potensi, kekuatan, serta harapan di level desa. Namun bagaimanakah menyusun dokumen itu ketika tak ada satupun data-data yang dimiliki pemerintah desa? Bisakah?
Berikut kesaksian dari lapangan.

***

Kening pria itu tiba-tiba saja semakin berkerut. Wajah tuanya semakin terpekur saat diajak berdiskusi tentang data-data yang ada di level desa. Ia hanya menunjukkan satu blanko isian tentang data potensi kampung dari pihak pemerintah kabupaten. Blanko itu kosong melompong. Ia tak punya ide hendak mengisi blanko itu dengan data apa.

Ia menyilahkanku untuk melihat beberapa data yang terpampang di dinding kusam kantor itu. Kulihat ada data demografi yang ditulis di papan putih. Selanjutnya, sketsa kampung itu yang dibuat oleh mahasiswa yang melakukan KKN di situ. Aku juga melihat papan putih besar yang bertuliskan data potensi kampung, namun tak satupun ada angka tertera di situ.

Sebut saja pria itu bernama Edi. Jabatannya adalah Sekretaris Kampung Tanjung Batu, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Di Berau, pemerintahan setingkat desa dinamakan kampung. Nama ini dianggap lebih dekat dengan kultur serta tradisi yang berdenyut di masyarakat.

Lebih 10 tahun Pak Edi menjabat sebagai perangkat kampung yang digaji pas-pasan. Namun sejak eranya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ia diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Tugasnya adalah berkantor di sekretariat desa dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Setiap hari ia memakai pakaian dinas yang nampak mentereng dan rapi.

“Di sini tidak ada data. Tapi kalau butuh beberapa data, barangkali saya bisa hubungi beberapa orang,” katanya. Mulanya ia hendak menghubungi staf Badan Pusat Statistik (BPS) yang kerap mengumpulkan data. Sayang, staf BPS itu tak berada di desa itu.

Lagian, aku juga tak seberapa ingin bertemu staf BPS. Beberapa data BPS yang kubawa dari Jakarta justru nampak aneh saat tiba di kampung itu. Data Potensi Desa (Podes) dari BPS menunjukkan bahwa desa itu adalah desa pertanian, di mana sawah menjadi tumpuan utama kehidupan warganya. Kubayangkan tempat itu serupa desa-desa di Cianjur yang dipenuhi sawah-sawah menakjubkan.

Tiba di desa itu, aku serasa tak percaya. Desa itu terletak di pesisir laut, pada posisi sebagai gerbang menuju kawasan wisata yakni Pulau Derawan, Maratua, Kakaban, Samama, dan Saumlaki. Tak ada sepetak sawah pun di desa itu. Bahkan, beras didatangkan dari luar, yakni Samarinda ataupun Balikpapan. Desa itu tak bisa memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri.

Sebab karakteristik desa itu adalah desa pesisir, di mana warganya mencari nafkah dengan meniti buih dan ombak lautan. Data lain dari BPS yang membingungkanku adalah data tentang profesi warganya. Sungguh aneh karena profesi kebanyakan warga terletak di sektor indistri. Padahal, amatan sepintas saja sudah bisa dipastikan kalau warga sangat bergantung pada sektor kelautan dan perikanan. Nah, apa data BPS masih bisa menjadi patokan?

“Ini data tentang konsesi perkebunan. Kebetulan, kami dikasih oleh pihak tambang,” kata Pak Edi setelah lama berpeluh untuk menggeledah mejanya yang nampak berantakan. Data itu lalu kupelajari dan kucatat bagian-bagian yang penting. Sungguh mengherankan karena beberapa data justru disediakan pihak perusahaan tambang. Seorang pejabat Pemda Berau sebelumnya bercerita tentang minimnya data-data di level kampung.

Mayoritas kampung tak punya data-data yang bisa menjadi patokan dalam memahami potensi desa, sekaligus merencanakan apa yang terbaik di desa itu. Tanpa data, kita tak punya gambaran tentang potensi kampung, aset-aset ekonomi, aset budaya, serta apa saja yang menjadi tradisi dan budaya masyarakat. Di banyak tempat, kantor desa atau kelurahan hanya menjadi tempat untuk mengurus KTP dan Kartu Keluarga, serta pajak bumi dan bangunan. Di luar itu, tak banyak kegiatan lain yang bisa disebutkan. Tentu saja, pihak perangkat desa tak bisa disalahkan.

Sejak masa Orde Baru, posisi perangkat desa hanya sebagai perpanjangan tangan dari birokrasi pemerintah, sekadar menunjukkan bahwa negara hadir pada scope yang terkecil. Persoalan mencuat ketika rezim pemerintahan yang baru hendak memberikan otonomi ke level desa, lalu menyilahkan desa untuk menyusun perencanaan, memberikan anggaran dengan porsi memadai, serta kewenangan untuk mengeksekusi program.

Ketika diminta untuk menyusun perencanaan, pihak desa kelabakan dan tak bisa berbuat apa-apa. Aparat desa tak punya kemampuan teknis untuk membuat berbagai dokumen dan laporan keuangan demi mengeksekusi beberapa rencana kegiatan.

Dalam situasi seperti ini, muncul para calo di level desa yang menawarkan bantuan untuk menyusun program, lalu membuat berbagai dokumen. Para calo meniupkan kekhawatiran bagi pihak desa tentang ancaman penjara karena ketidakmampuan mengelola anggaran publik. Para calo memberi iming-iming bahwa mereka punya pengetahuan yang bisa menyelamatkan aparat desa dari sanksi penjara. Maka sebuah persekongkolan baru telah lahir di desa yang sebelumnya tak banyak gejolak.

***

Sering kupikirkan adanya satu cultural gap atau kesenjangan pengetahuan yang cukup jauh. Pemerintah menyaratkan dokumen perencanaan yang berbasis pada data-data numerik, sementara masyarakat desa memiliki sistem berpikir dan sistem pengetahuan yang berbeda dengan apa yang diinginkan pemerintah. Yang ada di benak warga desa berupa rekaman sejarah serta gerak dan dinamika tradisi justru tak pernah dipandang sebagai data.

Pemerintah kita tak punya satu mekanisme perencanaan yang berbasis pada kearifan pengetahuan serta kebijaksanaan di level desa. Dengan kata lain, tak ada mekanisme lain untuk penyusunan program selain dari model penyusunan yang ada di level pemerintah pusat. Yang kemudian terjadi, kebijakan pembangunan di level desa, tak lebih dari sebuah copy-paste atas apa yang terjadi di tingkat pusat. Yang selalu diminta pemerintah dan kerap dikhutbahkan para akademisi adalah model-model dan sistematikan berpikir yang justru tumbuh pada birokrasi di tingkat pusat.

Pengetahuan itu membutuhkan satu kecakapan administrasi tertentu yang membutuhkan pengetahuan setara dengan seseorang yang belajar di level sarjana. Sama sekali tak kulihat satu upaya untuk me-recognize pengetahuan masyarakat, lalu menjadikannya sebagai cara-cara untuk menyelesaikan persoalan yang setiap hari dihadapi.

Mestinya ada satu lompatan berpikir yang tidak sekadar menyeragamkan model perencanaan dan pembangunan. Barangkali, mesti ada berbagai variasi model pembangunan yang justru dibangun dari kearifan kultural, yang tak melulu dan bertumpu pada kecakapan teknis semata.

Yang harus dilakukan adalah memberikan ruang yang luas bagi warga desa untuk melakukan improvisasi dan menyusun kelembagaan, tanpa harus menunggu instruksi dari atas. Mereka harus kreatif, tanpa harus diberi iming-iming tentang anggaran desa senilai miliaran rupiah. Di beberapa desa yang kukunjungi, kucoba memahami bagaimana pemerintahan bekerja pada cakupan yang kecil.

Nampaknya, berbagai kebijakan negeri ini senantiasa bertumpu pada dua hal: (1) Penyusunan kebijakan diakukan oleh orang-orang Jakarta yang tak memahami kondisi ril di lapangan. Pendekatannya masih top-down sebab menyaratkan kerja-kerja birokrasi dan pemerintahan yang memang sejak dari sono-nya sudah terdesentralisasi, (2) Banyak kebijakan yang dibangun dari asumsi bahwa ketika program atau anggaran dikucurkan, maka dianggap sebagai keberhasilan, tanpa menelaah lebih jauh tentang apa yang sesungguhnya sedang terjadi, serta bagaimana gerak masyarakat.

Aku teringat artikel yang dibuat Soedjatmoko bahwa pembangunan adalah soal kebudayaan. Setiap kebijakan baru mesti diikuti dengan pengetahuan dan perubahan budaya, khususnya mindset bagi para subyek di lapangan. Soedjatmoko memberi contoh tentang kebijakan pemberian traktor. Yang kerap diabaikan adalah pandangan dunia serta sistem berpikir yang juga menjadi prasyarat bagi dioperasikannya traktor tersebut.

Di banyak desa-desa yang kusaksikan, argumentasi Soedjatmoko itu ibarat mengukir langit dan menggantang asap. Masih butuh banyak energi dan kerja keras untuk sekadar membumikan berbagai pengetahuan, lalu menjadikannya sebagai kekuatan perubahan. Yah, kerja memang belum tuntas.

Bogor, 10 Juni 2015
http://www.kompasiana.com/yusrandarmawan

Friday, February 10, 2017

Rekomendasi Atas Prinsip-Prinsip Open Government (Keterbukaan Pemerintah)


Prinsip
Deskripsi
Partisipasi publik yang efektif
Partisipasi publik secara aktif didorong dengan menginformasikan, berkonsultasi, melibatkan dan memberdayakan warga dan organisasi sosial.
Transparansi dan Akuntabilitas
Pemerintah harus aktif di dalam menjelaskan semua tindakan mereka dan mengambil tanggung jawab publik untuk segala tindakan dan keputusan mereka.
Open Data
Tersedianya data primer pemerintah yang terbuka, lengkap, tepat waktu, dapat diakses, dapat diproses secara otomatis, non-diskriminatif, non-eksklusif, berlisensi bebas dan sesuai dengan standar internasional untuk diterbitkan melalui situs di intrnet.
Pembukaan akses dan penggunaan informasi publik
Informasi publik harus dipastikan terdistribusi hingga mencapai seluruh komponen masyarakat secara penuh. Prioritas utama diberikan untuk penggunaan lisensi bebas, memungkinkan penggunaan kembali informasi oleh publik.
Akses dan kemudahan
Bila memungkinkan, penyederhanaan dan kemudahan di dalam memahami data, informasi, dan pelayanan pemerintah
Kolaborasi dan Ko-Kreasi
Praktik dan kebijakan yang dirancang untuk mendorong kolaborasi dan proses ko-kreasi di semua tahapan proses dengan publik.
Inklusivitas dan Keberagaman
Ada perhatian terhadap keragaman dan inklusivitas sosial. Perempuan, orang dengan disabilitas, kaum minoritas dan / atau rentan harus bisa untuk disertakan. Perhatian termasuk penggunaan bahasa yang tepat, teknologi dan metodologi untuk memasukkan minoritas di dalam proses kolaborasi publik